Ku Ambil Barangmu, Kau Renggut Nyawaku


Masih hangat dalam ingatan kisah pilu pembakaran seorang pria yang tertuduh mencuri ampliflier mushola, iya dia adalah Joya. Semua berawal saat Joya mampir ke sebuah mushola sederhana di daerah Babelan, ia yang saat itu hendak melaksanakan sholat ashar disana. Namun ternyata sholat asharnya hari itu menjadi sholat terakhir baginya, Joya dicurigai telah mencuri ampliflier yang tersimpan di ruang kecil di dalam mushola. Ia diteriaki maling oleh warga lalu ramai-ramai dikejar, ditangkap, dipukul dan naas ia pun dibakar hidup-hidup. Saat itu juga nyawanya hilang di tangan para manusia yang tak berprikemanusiaan. Disaksikan, ditonton oleh belasan bahkan puluhan orang, tapi semua bungkam, semua diam tak ada yang bisa menggagalkan aksi pembakaran itu. Miris rasanya saat nyawa harus melayang karena barang yang bahkan tak sempat dibawa pulang.

    Sebegitu merugikannya kah apa yang diperbuatnya hingga barang dibalas nyawa?
    Sebegitu kejikah perbuatannya hingga tak ada yang bisa mencegahnya?
    Dimana hati nurani? Sudah hilangkah?
    Dimana rasa kemanusiaan? Sudah pergikah?   
    Haruskah setiap yang mencuri dibalas dengan main hakim sendiri?
     
Kasus Joya adalah satu dari sekian kasus main hakim sendiri yang terungkap oleh media, diluar sana sudah banyak kasus main hakim sendiri yang terjadi. Mencuri memang perbuatan yang dilarang namun main hakim sendiri pun tak pernah dibenarkan. Kecewa, kesal, marah adalah bentuk ekspresi jiwa yang sangat wajar namun menjadi tak wajar jika semua rasa itu harus dilampiaskan dengan perbuatan yang tak berprikemanusiaan. Bukankah kita ada di Negara yang tahu aturan? Bukankah kita ada di Negara hukum? Tapi mengapa kita lebih memilih mengabaikan daripada menjalankan? Lalu, bagaimana sebenarnya aturan hukum di Indonesia terkait tindakan main hakim sendiri?
  
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang main hakim sendiri. Namun, dalam pengaturan tersebut tidak dinyatakan secara langsung, bahwa tindakan yang diatur tersebut dinamakan tindakan “Main Hakim Sendiri”. Sebagai contoh, aturan mengenai tindakan penganiayaan dalam pasal 351 KUHP.
Bunyi pasalnya seperti ini : 
  • Ayat (1) “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” 
  • Ayat (2) “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yng bersalah dikenakan pidanapenjara paling lama lima tahun.” 
  • Ayat (3) “Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Dalam pasal tersebut memang tidak disebutkan bahwa tindakan penganiayaan sama dengan tindakan main hakim sendiri. Akan tetapi, jika kita membaca unsur-unsur dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam situasi tertentu tindakan main hakim sendiri yang dilakukan ramai-ramai bisa dikategorikan sebagai bentuk penganiayaan apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. 
  
Kini masihkah kita tak mengerti dengan aturan itu? Jikalau memang benar kita tak paham atau bahkan tak tahu aturan maka tidakkah kita ingat Pancasila? Dasar Negara yang dengan lantang sering kita teriakkan terutama saat masih duduk di bangku pendidikan. Tentu kita sudah tahu bahkan hafal betul di luar kepala setiap bunyinya. Terutama bunyi sila kedua, kemanusiaaan yang adil dan beradab. Lalu, dimana sisi keberadaban kita saat ikut main hakim sendiri? Adilkah tindakan kita saat dengan gagahnya kita ikut memukul, menganiaya hingga hilang nyawa? Sungguh malu jika kita menjadi salah satu dari mereka. Bayangkan jika yang dihakimi itu adalah keluarga kita sendiri, bagaimana perasaan kita? Tegakah? Jika kita masih pula tak bergeming, maka periksa hati kita mungkin terlalu banyak penyakit yang menjangkit hingga hati begitu keras, nurani menjadi tiada, rasa prikemanusiaan pun hilang seketika.
Jika kita bukan bagian dari mereka tapi melihat dengan jelas tindakan didepan mata sedang kita tak mampu mencegahnya, maka salah satu cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk kepedulian adalah dengan melaporkan. Melapor kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK adalah lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. LPSK akan melindungi dan membantu memperjuangkan hak-hak saksi dan korban. 

    Kini, jangan bungkam, jangan diam, ungkapkan, laporkan. Dalam hal ini diam bukan lagi emas, diam bukan pilihan karena diam sama dengan membiarkan.

Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Perlindungan_Saksi_dan_Korban
https://achmadnosiutama.blogspot.co.id/2015/07/v-behaviorurldefaultvmlo_27.html
http://news.liputan6.com/read/3050825/kronologi-lengkap-joya-dibakar-hidup-hidup-versi-warga-dan-polisi

6 komentar

  1. Tulisan yang bagus bro. Kamu juga bsa baca tulisanku. klik https://adherba-radices.blogspot.co.id/.../rame-rame...
    Terima kasih.

    BalasHapus
  2. Baru tau ada LPSK dan bisa lapor ke sana. Thanks tulisannya.

    BalasHapus
  3. Baru tau ada LPSK dan bisa lapor ke sana. Thanks tulisannya.

    BalasHapus
  4. Where to Bet on Sports To Bet On Sports In Illinois
    The best 토토 사이트 홍보 sports bet types หาเงินออนไลน์ and 토토 bonuses available in Illinois. The most common bet365 sports betting options available. Bet $20, Win 슬롯 나라 $150, Win $100 or

    BalasHapus